Mengantisipasi Wikileaks (Rothschild, Bilderberg, Council on Foreign Relations, Klub Roma, Trilateral Commissions)

Oleh Indra Yogiswara

Tulisan ini dibuat oleh Fahmi AP Pane (Staf Ahli Fraksi PPP DPR RI). Menarik, karena beliau menyangkut-pautkan antara ribuan dokumen penting berbagai negara dengan dokumen rahasia beberapa organisasi yang memang telah dikenal sebagai organisasi tertutup dan rahasia.

Dan memang kalau kita lihat kemampuan Julian Assange sebagai pendiri Wikileaks yang bisa meretas berbagai dokumen dari banyak negara, harusnya dia juga mampu membongkar agenda atau dokumen-dokumen rahasia milik organisasi semacam Bilderberg Group, Club Rome dan dokumen-dokumen yang dimiliki dinasti Rothschild.

Tapi kenapa tidak ada berita mengenai hal itu ? adakah ini disebabkan karena kedekatan Julian Assange dengan Rothschild ? (http://networkedblogs.com/blkkt)

————————–

Kamis, 02 Desember 2010 pukul 13:10:00

Mengantisipasi Wikileaks

http://republika.co.id:8080/koran/24/124280/Mengantisipasi_Wikileaks

Fahmi AP Pane (Staf Ahli Fraksi PPP DPR RI)

Pemerintah, DPR, dan segenap komponen bangsa selayaknya menyiapkan strategi mengantisipasi fenomena Wikileaks, sebuah situs dan jaringan aktivis yang telah membongkar jutaan dokumen Amerika Serikat (AS), mulai dari kabel diplomatik, komunikasi antarpejabat AS dan pemerintah sekutunya, laporan intelijen, hingga data lapangan invasi AS di Irak dan Afghanistan.

Apalagi, dalam kasus mutakhir berupa pembocoran dan peretasan kabel diplomatik, seperti ditulis Harian the Guardian, dari total 251.271 dokumen sebanyak 3.059 dokumen di antaranya berasal dari Kedubes AS di Jakarta dan 167 dokumen dari Konjen AS di Surabaya. Bahkan, menurut the Guardian, dokumen-dokumen sensitif itu tergolong baru, seperti dokumen dari Jakarta bertanggal 27 Februari 2010.

Sikap waspada dan antisipatif itu, bukan karena peretasan dan pembocoran informasi rahasia-khususnya dari kantor diplomat AS di Jakarta dan Surabaya-dapat membuktikan penilaian sementara pihak bahwa pemerintah mengerjakan kepentingan AS, terutama soal terorisme, melainkan karena seluruh informasi yang dibuka Wikileaks adalah terkait langsung atau tidak langsung dengan operasi militer dan intelijen AS terhadap umat Islam, baik di wilayah kolonial AS di Irak dan Afghanistan maupun di negeri-negeri satelitnya dan lembaga internasional.

Semua informasi tersebut, bagaimanapun, tinggi dan sensitifnya kualitas dokumen itu, semuanya adalah informasi masa lalu. Seiring dengan berjalannya waktu, sebagian besar informasi tersebut harus dibuka oleh Pemerintah AS.

Itu bukan berarti pekerjaan Julian Paul Assange tidak penting dan berguna. Namun, sebagian informasi yang diungkap tidaklah mengejutkan, seperti rencana Israel mengebom Iran sendirian, Operasi Babilonia yang menghancurkan reaktor nuklir Irak di Osirak tahun 1981, perseteruan di antara pemimpin Timur Tengah atau operasi intelijen AS di PBB, di mana yang terkait WHO dan Dr Margareth Chan pernah disinggung Siti Fadilah Supari dalam bukunya, Saatnya Dunia Berubah (2007).

Hal serupa juga terjadi jika nantinya Assange menyebarluaskan video kekerasan tentara AS di Irak dan Afghanistan, atau dokumen Bank of America. Praktis, tidak banyak solusi dan tindakan strategis yang bisa dilakukan pemerintah negara-negara Muslim dan rakyatnya.

Daniel Estulin

Situasinya akan berbeda jika Wikileaks dan jaringan mana pun membongkar agenda strategis Pemerintah AS, Inggris, dan sekutunya serta organisasi rahasia yang mengendalikan dunia, termasuk PBB, AS, Inggris, dan masyarakat Eropa. Organisasi-organisasi rahasia internasional, seperti Grup Bilderberg, Council on Foreign Relations, Klub Roma, Trilateral Commissions, dan Royal Institute of International Affairs/Chatham House seharusnya menjadi objek penyingkapan kepada publik dunia. Assange seharusnya mampu menghadirkan berbagai dokumen untuk menunjang pekerjaan berat yang telah dilakukan Daniel Estulin.

Dalam bukunya, The Bilderberg Group (2009), Estulin sukses memaparkan rekaman aktivitas dan agenda organisasi-organisasi rahasia tersebut, termasuk daftar pejabat/tokoh AS, Eropa, Jepang, dan Cina yang menjadi anggota dan pimpinannya. Bahkan, beberapa tokoh Indonesia juga menjadi anggota Trilateral Commissions.

Wikileaks seharusnya juga mampu membongkar jaringan dan agenda troika Rockefeller, Rothschild dan Morgan. Misalnya, agenda di balik usulan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick agar G20 membahas pemberlakuan kembali emas sebagai mata uang, sementara tambang-tambang emas negara-negara Dunia Ketiga justru dikuasai oleh perusahaan AS dan sekutunya, termasuk di Indonesia.

Bagaimana peta jalan pemberlakuan mata uang tunggal yang merujuk Special Drawing Right untuk menggantikan dolar AS? Bagaimana pula menjelaskan kerja sama perusahaan-perusahaan AS, Inggris, dan negara Eropa lain di Cina, termasuk soal ekspor sumber daya energi ke Cina, sementara secara politik mereka terlihat berseberangan? Estulin, misalnya, telah mengungkap transkrip percakapan telepon David Rockefeller dengan Menlu Henry Kissinger tahun 1972 untuk membuka relasi dengan Cina. Oleh karena itu, selayaknya Assange dapat membuka pula komunikasi lanjutan tingkat tinggi antara pejabat AS dan Cina.

Selanjutnya, ada beberapa agenda antisipasi fenomena Wikileaks bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Pertama, semua kebijakan pemerintah, berikut proses pengambilan keputusan, harus bersifat adil, jujur, memihak rakyat, dan akuntabel. Ketiadaan kepentingan dan pertanggungjawaban publik dalam kebijakan Pemerintah AS adalah penyebab begitu intensifnya serangan terhadap sistem komunikasi dan persandian diplomatik AS.

Bayangkan, pembocornya, antara lain, analis intelijen militer semacam Sersan Bradley Manning. Dialah yang menyebarkan video penembakan dua wartawan Reuters oleh helikopter Apache di Bahgdad tahun 2007. Jika Pemerintah Indonesia terlalu memihak AS, hanya soal masa berbagai rahasia pejabat akan terbaca di dunia maya.

Kedua, pemerintah dan lembaga negara menertibkan praktik penyelenggaraan negara, termasuk soal keterbukaan informasi publik. Contoh, rencana awal penawaran saham perdana (IPO) Krakatau Steel dan Garuda, serta penawaran hak memesan efek terlebih dahulu (right issue) untuk BNI dan Bank Mandiri.

Juga, rencana penjualan aset dan saham BUMN lainnya, seperti Angkasa Pura II dan Jasindo, dapat ditafsirkan berseberangan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 huruf e bahwa “rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara” adalah termasuk informasi publik yang dikecualikan untuk diungkapkan karena dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2), ketentuan tersebut tidak permanen, tetapi harus diatur dengan peraturan pemerintah untuk dapat membukanya kepada publik. Penelusuran pada situs Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan Presiden RI tidak menemukan aturan dimaksud.

Ketiga, pemerintah perlu membangun sistem perlindungan informasi strategis yang komprehensif sekaligus menyiapkan diri menghadapi pertarungan dunia maya. Koordinasi dan sinkronisasi antarinstansi harus meningkat, tetapi perlu dicegah birokratisasi intelijen dan tumpang tindih kewenangan, seperti komunitas intelijen AS.

Kesadaran pejabat akan informasi sensitif harus meningkat, antara lain, tidak memakai saluran komunikasi yang mudah disadap AS dan komunitas hacker dalam urusan pekerjaan. Selain itu, anugerah Allah dengan 700 lebih bahasa daerah di Indonesia dan beberapa aksara, seperti Latin, Arab, Pallawa, Sunda, dan Jawa adalah bahan baku bahasa sandi untuk sistem komunikasi strategis. Semakin sedikit pemakai bahasa dan aksara tersebut, informasi yang dienkripsi dengan bahasa dan aksara tersebut akan semakin sulit untuk diretas. []

Tinggalkan komentar